Maret 12, 2024, 17:17 WIB
Last Updated 2024-03-12T10:17:07Z
Religi

Kajian Ramadhan Hari Pertama: Cara Jitu Leluhur Kita Menakar Kebenaran : Menghindari Yang Ekstrim

Advertisement

Abah Tohidin S.Ip ketua PCNU kabupaten Sekadau 

 Penakhatulistiwa.id (Sekadau) - Hari pertama puasa ada baiknya kita gunakan untuk flashback, membaca kembali warisan leluhur kita, dari hal yang sederhana seperti cara berpakaian, cara bergaul, menyikapi soal musik, melaksanakan adat dan sampai warisan dalam bentuk yang lebih komprehensif terkait cara berpikir dan membangun peradaban.


Kali ini kita mencoba fokus dulu membahas leluhur kita yang hidup di peradaban sungai atau sering disebut Orang Laut, atau juga kadang mereka menyebut dirinya Melayu atau Senganan.


Kita mulai dari cara berpakaian ya, para leluhur kita mengetahui bahwa ada ulama yang mewajibkan perempuan itu menutup rapat seluruh anggota tubuhnya hanya tersisa mata nya dan itupun masih dengan ketentuan warna pakaian hitam - hitam atau dikenal dengan istilah niqob. Tetapi para leluhur kita  juga mengetahui bahwa ada juga pendapat ulama yang mencukupkan kewajiban perempuan dalam soal aurat itu menutup seluruh badan tetapi masih memperbolehkan wajah dan telapak tangan terlihat, Lalu disisi lain juga ada kecenderungan di kebudayaan lain, yang memperbolehkan perempuan bebas menentukan pilihan pakaian tanpa batasan tertentu, atas hal ini leluhur kita memilih baju kurung sebagai pakaian khas perempuan, pilihan baju kurung itu adalah sikap moderat tidak ekstrim, banyangkan jika leluhur kita memilih niqob yang menutupi seluruh badan full atau sebaliknya memilih membebaskan pakaian perempuan tanpa batasan tentu hal tersebut akan terasa sangat ekstrim dalam logika keseharian masyarakat kita. 


Selanjutnya dalam hal pakaian laki-laki misalnya, leluhur kita lebih memilih sarung, celana, kemeja dan kopiyah, sedangkan pakaian gamis dan sorban ala kebiasaan lelaki Arab lebih dikhususkan kepada mereka yang telah melaksanakan ibadah haji, sebagai sebuah penghargaan dan penanda, banyangkan jika leluhur kita memilih jubah sebagai pakaian adat bagi laki-laki atau sebaliknya memilih pakaian ala rocker yang serba aksesoris, tentu akan terasa ekstrim dalam logika keseharian masyarakat kita yang agraris dimana kebanyakan laki-laki akrab dengan kebun, sawah, hutan atau sungai dan laut.


Dalam soal bergaul dengan yang berbeda agama misalnya, para leluhur kita juga mengambil sikap moderat serta tidak bersikap keras anti terhadap agama lain tetapi juga tidak mencampur adukkan ajaran, juga tidak turut campur urusan internal agama masing-masing, para leluhur kita juga tidak membawa senjata ketika berhadapan dengan orang yang beda agama dan beda suku kecuali jika ada hal darurat yang mengharuskan hal tersebut, karena akan terlihat ekstrim jika hal tersebut dilakukan tidak pada tempatnya.


Dalam soal musik misalnya, para leluhur kita juga tidak mengharamkan musik secara mutlak, tetapi tetap mengambil jalan moderat seperti dibolehkan nya budaya musik dan tari zapin/belangkah dan aneka kekayaan budaya musik tradisional lainnya, tentu tetap dalam batas kewajaran dan kepatutan tertentu.


Sikap moderat yang tercermin dari pilihan sikap dan pola berpikir serta dalam membangun peradaban ini bukan tanpa dasar tentunya. 


Secara teoritis semua orang sepakat bahwa sesungguhnya sesuatu dianggap benar adalah apabila disepakati oleh mayoritas logika pikir manusia.


Contohnya adalah bahwa pernyataan daun berwarna hijau dianggap benar, karena warna  pada daun  disebut warna hijau itu disepakati oleh mayoritas logika pikir manusia. 


Contoh lain suatu kebenaran adalah bahwa hidup bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan pernikahan, adalah dianggap hal yang menyimpang dan melanggar nilai kebenaran, hal ini jika ditanyakan kepada seluruh manusia maka mayoritas logika pikir manusia pasti setuju, jika pun ada yang tidak setuju pasti hanya minoritas.


Makanya Rosululloh mengatakan jika terjadi fitnah yang menyebabkan timbulnya firqoh atau aliran - aliran keagamaan maka ikutilah sawadul a'dhom, dan yang dimaksud oleh Rosululloh dengan sawadul a'dhom adalah pendapat mayoritas umat Islam karena tidak mungkin semua atau mayoritas ummat Islam bersepakat dalam kesesatan, begitu Rosululloh menjelaskan.


Maka di jaman sekarang ini apa yang sudah dicontohkan oleh para leluhur perlu kita gali dan kita pegang teguh kembali, karena sejatinya semua paham dan / atau klaim atas kebenaran pasti akan membela dirinya dengan logika - logika praktis yang dibangun untuk mendapatkan persetujuan dari khalayak, akan tetapi dengan sendirinya ajaran yang akan bertahan dan terus berkembang adalah ajaran yang sesuai dalam arti tidak bertentangan dengan logika pikir publik atau kebanyakan manusia, dan untuk tidak bertentangan dengan logika pikir publik manusia tersebut syarat pertama nya adalah tidak ekstrim, baik sejak dari cara berpikir maupun sampai memilih pendapat dan bersikap.


Karena suatu kesimpulan yang didapat kan dari cara berpikir ekstrim, maka pasti akan menjadi pendapat yang minoritas dan hanya dapat diikuti oleh sedikit orang, dan jika hanya sedikit orang yang mengikuti pendapat tersebut maka hal tersebut masuk dalam katagori syadz. sesuatu yang syadz berarti menyempal atau hasilnya lahir sebagai sempalan, sempalan pasti tertolak oleh logika pikir publik dan secara otomatis akan dianggap salah dan sesat. Maka cara yang paling sederhana dan paten untuk menakar kebenaran suatu ajaran atau pendapat atau budaya adalah melihat sejauh mana hal tersebut dalam pandangan kebanyakan mayoritas manusia, jika terasa asing maka berarti ekstrim dan jika ekstrim pasti dengan sendirinya akan tertolak, seperti orang buta warna yang ngotot mengatakan sesuatu itu hitam padahal dalam pandangan mayoritas mata manusia sesungguhnya hal itu berwarna merah.


By ustad Tohidin S.Ip